Nama : Dewi kurniasari
kelas : 4EA09
NPM : 11210904
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir
ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Didalam mekanisme pasar bebas diberi
kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri
dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar. Tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar
berupa grup-grup bisnis raksasa yang memproduksi barang dan jasa melalui
anak-anak perusahaannya yang menguasai pangsa pasar yang secara luas
menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat banyak, khususnya pengusaha menengah
ke bawah. Kekhawatiran tersebut menimbulkan kecurigaan telah terjadinya suatu
perbuatan tidak wajar dalam pengelolaan bisnis mereka dan berdampak sangat
merugikan perusahaan lain. Dalam persaingan antar perusahaan terutama
perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran
etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Demikian pula sering
terjadi perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pihak birokrat
dalam mendukung usaha bisnis pengusaha besar atau pengusaha keluarga pejabat.
Peluang-peluang yang diberikan pemerintah pada masa orde baru telah memberi
kesempatan pada usaha-usaha tertentu untuk melakukan penguasaan pangsa pasar
secara tidak wajar.
1.2 Landasan Teori
Didalam
Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena
itu pula “etika bisnis” bisa berbeda artinya. Etika sebagai praksis berarti :
nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak
dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Sedangkanetis, merupakansifat
daritindakan yang sesuaidengan etika. Peranan Etika dalam Bisnis : Menurut
Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok
yaitu :
1.Produk yang baik
2.Managemen yang baik
Memiliki Etika Selama perusahaan
memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk masyarakat disamping itu
dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumberdaya
manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat
atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan tsb. Bisnis merupakan
suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan
fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari
aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk
juga aturan-aturan moral. Mengapa bisnis harus berlaku etis ? Tekanan kalimat
ini ada pada kata “harus”. Dengan kata lain, mengapa bisnis tidak bebas untuk
berlaku etis atau tidak? Tentu saja secara faktual, telah berulang kali terjadi
hal-hal yang tidak etis dalam kegiatan bisnis, dan hal ini tidak perlu
disangkal, tetapi juga tidak perlu menjadi fokus perhatian kita. Pertanyaannya
bukan tentang kenyataan faktual, melainkan tentang normativitas : seharusnya
bagaimana dan apa yang menjadi dasar untuk keharusan itu. Mengapa bisnis harus
berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya mengapa manusia pada umumnya
harus berlaku etis. Bisnis disini hanya merupakan suatu bidang khusus dari
kondisi manusia yang umum. Jawabannya ada tiga yaitu :
• Tuhan melalui agama/kepercayaan
yang dianut, diharapkan setiap pebisnis akan dibimbing oleh iman
kepercayaannya, dan menjadi tugas agama mengajak para pemeluknya untuk tetap
berpegang pada motivasi moral.
• Kontrak Sosial, umat manusia
seolah-olah pernah mengadakan kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk
berpegang pada norma-norma moral, dan kontrak ini mengikat kita sebagai
manusia, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri daripadanya.
• Keutamaan, Menurut Plato dan
Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik, justru karena hal itu baik.
Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang baik adalah baik karena
dirinya sendiri. Keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik,
adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis
adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu
saja.
Pengertian MNC (Multinational
Corporation)
Multinational Corporations
(MNCs), term ini memilki beberapa definisi, yang pertama menandakan adanya
internasionalisasi managemen dan kepemilikan saham tidak lagi berperan. Kedua,
sebagian besar aktivitas MNCs telah melintasi batas kedaulatan negara. MNCs,
tidak diragukan lagi merupakan aktor non-negara yang memiliki peran sangat
besar dalam dunia internasional dan juga sangat kontroversial. Jadi dapat
disimpulkan, bahwa MNC adalah sebuah perusahaan internasional atau
transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di
berbagai negara maju dan berkembang. Contohnya termasuk General Motors,
Coca-Cola, Firestone, Philips, Volkswagen, British Petroleum, Exxon, Freeport
dan ITT. Sebuah perusahaan akan menjadi perusahaan multinasional berdasarkan
keuntungan untuk mendirikan produksi dan kegiatan lainnya di lokasi asing.
Ciri-ciri MNC
Perusahaan harus membuat
keputusan-keputusan mengenai pendapatan proyek dalam berbagai jenis valas yang
akan mempengaruhi berbagai operasi perusahannya.
MNC mengambil keputusan-keputusan
berkaitan dengan strategi penetrasi pasar, pemilihan operasional di luar negeri
serta aktivitas produksi, marketing dan keuangan yang paling efisien bagi
perusahaan secara keseluruhan.
Perumusan Masalah
PT Freeport Indonesia (PTFI)
merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc..
PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang
mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di
Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat yang
mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PT Freeport Indonesia merupakan
jenis perusahaan multinasional (MNC),yaitu perusahaan internasional atau
transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di
berbagai negara maju dan berkembang..
Contoh kasus pelanggaran etika
yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :
Mogoknya hampir seluruh pekerja
PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji
yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia.
Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada
pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang
per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD
35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen
Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya. Biaya
CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa
karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua
membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta
punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi
tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain
bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi
Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al.,
2006).
Kestabilan siklus operasional
Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni
Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi
raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar
biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Sebagai perusahaan berlabel MNC
(multinational company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi
berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan
baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan
mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas
agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen
dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas
malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk
menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan
memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata
sia-sia.
Berkali-kali perjanjian kontrak
karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor
4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah
kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI
benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan
Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi
luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan
mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa
langsung ke luar negeri dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value
di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal
Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru
didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada
Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja
asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan
terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak
imigrasi.
Kasus PT. Freeport Indonesia
ditinjau dari berbagai teori etika bisnis :
Teori etika utilitarianisme Berasal
dari bahasa latin yaitu utilis dengan
artian “bermanfaat”. Dalam teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa
manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
keseluruhan. Berdasarkan teori utilitarianisme, PT.Freeport Indonesia dalam hal
ini sangat bertentangan karena keuntungan yang di dapat tidak digunakan untuk
mensejahterakan masyarakat sekitar, melainkan untuk Negara Amerika.
Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini
barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk
mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak
merupakan suatu aspek dari teori
deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua
sisi uang logam yang sama.
Hak didasarkan atas martabat
manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan
suasana pemikiran demokratis. Dalam kasus ini, PT Freeport Indonesia sangat
tidak etis dimana kewajiban terhadap para karyawan tidak terpenuhi karena gaji
yang diterima tidak layak dibandingkan dengan pekerja Freeport di Negara lain.
Padahal PT Freeport Indonesia merupakan tambang emas dengan kualitas emas
terbaik di dunia.
Kesimpulan
Dari pembahasan dalam bab sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa PT Freeport Indonesia telah melanggar etika bisnis
dimana, upah yang dibayar kepada para pekerja dianggap tidak layak dan juga
telah melanggar UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
yang sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Karena PT FI berizin
penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak,
dan konon uranium. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport
(Davis, G.F., et.al., 2006).
Saran
Sebaiknya pemerintah Indonesia,
dalam hal ini menteri ESDM, melakukan renegosiasi ulang terhadap PT FI. Karena
begitu banyak SDA yang ada di Papua ,tetapi masyarakat papua khususnya dan
Negara Indonesia tidak menikmati hasil dari kekayaan alam yang ada di papua.
Justru Amerika lah yang mendapat untung dari kekayaan alam yang ada di papua.
Atau kalau tidak dapat di negosiasi ulang dan hak para pekerja tidak terpenuhi,
lebih baik pemerintah menasionalisasi PT FI supaya masyarakat papua khususnya
dan Indonesia dapat menikmati SDA yang ada di bumi Indonesia.